Jumat, 04 Maret 2011

PENGERTIAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NAMA : MUJI RIYANTORO
NPM : 31109537
KELAS : 2DB21
MAT KUL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN #
DOSEN : RETMIARTI
KK : PP00O207

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

I. Pendahuluan
Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.
a) Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :
Ø Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Ø Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
Ø Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berbentuk republik yang telah diakui oleh dunia internasional dengan memiliki ratusan juta rakyat, wilayah darat, laut dan udara yang luas serta terdapat organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkuasa. Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.
b) Fungsi-Fungsi Negara :
1)Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat
Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
2)Melaksanakan ketertiban
Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
3)Pertahanan dan keamanan
Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
4)Menegakkan keadilan
Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan.
II. Pengertian dan Konsep Pendidikan Kewarganegaraan
a) Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan “Civis”, selanjutnya dari kata “Civis” ini dalam bahasa Inggris timbul kata ”Civic” artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata “Civic” lahir kata “Civics”, ilmu kewarganegaraan dan Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan.
Pelajaran Civics mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of Americanization”. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics membicarakan masalah ”government”, hak dan kewajiban warga negara dan Civics merupakan bagian dari ilmu politik.
Beberapa definisi Pendidikan kewarganegaraan menurut para ahli :
Ø Azzumardi Azra : “Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengkaji dan membahas tentang pemerintahan konstitusi lembaga-lembaga demokrasi rule of law, HAM, hak dan kewajiban warganegara serta proses demokrasi.
Ø Zamroni : “Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis.”
Ø Merphin Panjaitan : “Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidkan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warganegara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial.”
Ø Civitas Internasional : “Civic Education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, HAM, penguatan ketrampilan partisipatif yang demokratis, pengembangan budaya demokratis dan perdamaian.”
Ø Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas : “Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan tertentu (secara khusus: Negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga Negara. Seseorang warga Negara berhak memiliki paspor dari Negara yang dianggotainya.” .
b) Konsep Pendidikan Kewarganegaraan
Konsep Pendidikan kewarganegaraan dalam sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status.
Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat.
III. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan
Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam belanegara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar belanegara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.
Standarisi pendidikan kewarganegaraan adalah pengembangan :
1. Nilai-nilai cinta tanah air;
2. Kesadaran berbangsa dan bernegara;
3. Keyakinan terhadap Pancasila sebagai ideology negara;
4. Nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. Kerelaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara, serta
6. Kemampuan awal belanegara.
Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup :
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara. untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945. Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK.
2. Tujuan Khusus
1) Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
2) Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional
3)Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
IV. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
a) Pada Masa Orde Lama
Pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau “Eka Prasetia Pancakarsa”.
Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975.
Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila.
Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
b) Pada Masa Orde Baru
Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggan¬tikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripati¬kan dari Pancasila dan P4.
Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokra¬si konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah Pancasila dan Kewiraan.
Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan.
Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Dalam status keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4 mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4 atau BP7 Pusat dan Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabu¬tan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakar¬sa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi di likuidasi. Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersi¬kap, dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik.
V. Perbandingan Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
a) Pada Masa Orde Lama
Mata Pelajaran Kewargaan Negara telah mengalami revitalisasi dari masa ke masa. Pada orde lama dan perkembangannya, sebelum mata pelajaran pendidikan Kewargaan Negara, kita pernah mengenal Pendidikan Pancasiladan Kewarganegaraan (PPKn) pada kurikulum 1994, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada kurikulum 1984, PKN pada kurikulum 1973.
Civics tahun 1962 yang tampil dalam bentukin doktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsure dari pendidikan kewargaannegara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang di identikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasiladan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsepnilai yang di saripatikan dari Pancasila dan P4. Krisisoperasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Landasan Hukum
1) UUD 1945, Alinea kedua dan keempat, Pasal 27 (1), Pasal 30 (1), Pasal 31 (1).
2) UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI (jo. UU No. 1 tahun 1988).
3) UU No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
4) Kep. Dirjen Dikti No. 267/dikti/kep./2000 tentang penyempurnaan kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) PKn pada PT di Indonesia.
b) Pada Masa Orde baru
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru adalah suatu orde yang mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat dan nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD 1945. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai tonggak lahirnya Orde Baru
Menurut Azyumardi Azra (2001), setidaknya terdapat tiga faktor mengapa pendidikan kewarganegaraan nasional dalam beragam bentuknya mengalami kegagalan. Pertama, menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewargaan. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif.
Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis daripada praksis. Walhasil hasil pembelajaran ketiga model pendidika kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat dianalogikan dengan ungkapan klasik ”jauh panggang dari api” ; kurang menyentuh realitas yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional.
VI. Kesimpulan
Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai aki¬batnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.
Secara konseptual “Pendidikan Kewarganegaraan” atau citizenship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat “lintas-bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling-keterpautan yang bersifat komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan.Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah; (b) salah satu dimensi dari social studies adalah citizenship education (NCSS:1994, CICED:1998), khususnya dalam upaya pengembangan intelligent social actor (Banks:1977, NCSS:1994).Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis.
Perubahan demi perubahan yang dilakukan dari orde lama, orde baru bahkan reformasi berguling membawa wajah baru pada Pendidikan Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan dan aplikasi social. Maka perlu pendalaman pemikiran dalam mengatasi dan memberikan solusi yang solutif di dalamnya. Bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja dalam upaya hal tersebut, melainkan individual dan social seluruh warga Negara juga bertanggung jawab memberikan sumbangan konstribusi positif.

SUMBER :
- CHAIRUL LUTFI
- Blog UIN MALIKI MALANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar