Jumat, 04 Maret 2011

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

NAMA : MUJI RIYANTORO
NPM : 31109537
KELAS : 2DB21
MAT KUL :PENDIDKAN KEWARGANEGARAAN #
DOSEN : RETMIARTI
KODE : PP000207

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL REALISASl, PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA
.
Pendahuluan
Sesungguhnya semenjak jaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan meru-pakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, me-reka berpendapat bahwa disamping melalui organisasi po1itik, perjuangan ke arah kemerdekaan per1u dilakukan melalui jalur pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada ke-pentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu didirikan pula lembaga-lembaga pendidikan umum nasional seperti Muhamma-diyah, Taman Siswa dan lembaga-lembaga pendidikan swasta lainnya.
Pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, arah pendidikan kita men-jadi lebih jelas, meskipun hakikat dan tujuannya pada dasarnya tetap sama, yaitu mencerdaskan serta meningkatkan kua1itas kemampuan bangsa. Namun demi-kian, upaya pendidikan pada masa sesudah prok1amasi kemerdekaan barangkali memiliki dimensi yang 1ebih 1uas dan lebih komplek, karena menyangkut ke-mampuan survival bangsa dalam mepertahankan dan mengisi kemerdekaan. Proses dan hasi1 pendidikan harus mampu menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan bangsa akan sumberdaya manusia yang trampil dalam berbagai jenjang pendidikan serta dalam berbagai jenis keterampilan yang bervariasi. Kita semua menyadari bahwa pada masa-masa yang akan datang kema-juan dan kejayaan suatu negara tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kekayaan sumberdaya alam, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya insani merupakan suatu usaha besar dan vital yang sela1u diupayakan serta menjadi pusat perhatian se-tiap negara yang ingin memajukan bangsanya. Usaha dan perjuangan suatu ne-gara dalam meningkatkan kecerdasan serta kemampuan bangsanya dapat dilihat dalam sistem pendidikannya.
Maka1ah ini dimaksudkan untuk membahas sistem pendidikan nasional sebagai upaya untuk membangun struktur dan strategi pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia, terutama dilihat dari segi konsepsi serta tujuan yang ingin dikejar, prinsip-prinsip yang melandasinya, serta strategi atau upaya-upaya nyata yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Di samping itu, realisasi serta praktek pelaksanaannya di lapangan juga dibahas serta persoalan-persoalannya di identifikasikan da1am usaha untuk menemu kan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya .

2. Konsep Sistem Pendidikan Nasional
a. Definisi
Tidak begitu mudah untuk memberikan suatu definisi yang memadai mengenai sistem pendidikan nasional. Konsep sistem pendidikan nasional akan tergantung pada konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan dan konsep tentang pendidikan nasional. Perlu pula disadari bahwa konsep me-ngenai pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata disimpulkan dari praktek pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan harus dilihat dari segi konsepsi atau ide dasar yang me-landasinya seperti yang biasanya tersurat dan juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan Undang-undang Dasar, Undang-undang Pendidikan dan peraturan-peraturan lain mengenai pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 yang merupakan produk perta-ma undang-undang pendidikan dan pengajaran sesudah masa kemerdekaan tidak memberikan definisi tentang konsep pendidikan, konsep pendidikan na-sional, maupun konsep sistem pendidikan nasional. Hanya saja, dalam kata pembukanya yang ditulis oleh Mr. Muhd. Yamin, Menteri Pendidikan, Penga-jaran dan Kebudayaan pada waktu itu, dikemukakan bahwa pendidikan nasi-onal merupakan landasan pembangunan masyarakat nasional, yaitu masya-rakat yang berkesusilaan nasional. Oleh karena itu, sistem pendidikan dan pe-ngajaran lama secara berangsur-angsur harus digantikan dengan sistem pendi-dikan dan pengajaran nasional yang demokratis. Memang dapat dimak1umi, bahwa pada masa-masa itu konsep dan gagasan pendidikan nasional meru-pakan reaksi dari sistim pendidikan kolonial yang bersifat diskriminatif dan elitis.
Pengertian yang 1ebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan na-siona1 dan sistem pendidikan nasiona1 dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan didefinisikan sebagai "Usaha sadar dan terencana un-tuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” ( Pasal 1, ayat 1 ). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai "pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. (pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah "keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” (pasal 1 ayat 3 ). Jadi dengan demikian, sistem (pendi-dikan nasiona1 dapat dianggap sebagai jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

b. Unsur-unsur Pokok Sistem Pendidikan nasional
Kazik (1969:1) mendefinisikan sistem sebagai "organisme yang diran-cang dan dibangun strukturnya secara sengaja, yang terdiri dari komponen-kumponen yang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain yang harus berfungsi sebagai suatu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditetapkan sebelumnya". Suatu sistem memiliki tiga unsur pokok: (1) tujuan, (2) isi atau komponen, dan (3) proses. Kalau pendidikan nasional kita benar-benar merupakan suatu sistem, maka ia setidak-tidaknya memiliki tiga unsur pokok tersebut. Di samping itu, komponen-komponen sistem tersebut harus berhubungan dan berinteraksi secara terpadu. Suatu sistem (termasuk sistem pendidikan) dibangun dengan maksud untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Sistem dibangun dari komponen-komponen dan kom-ponen-komponen bagian yang semuanya itu membentuk isi suatu sistem sebagai piranti untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Mekanisme dan prosedur beroperasinya serta berfungsinya komponen-komponen suatu sistem dalam upaya mewujudkan tujuan sistem merupakan proses sistem tersebut.
1) Tujuan Pendidikan Nasional
Apa tujuan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan nasional?. Kalau pendidikan nasional didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional, maka pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional akan terbatas pengertiannya pada pendidikan dan sistem pendidikan pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, karena pendidikan pada masa penjajahan secara formal tidak berakar pada kebudayaan nasional dan tidak berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, rumusan-rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional harus dicari dari dokumen-dokumen pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan.
Sejak proklamasi kemerdekaan, tujuan pendidikan telah mengalami beberapa kali perubahan, mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada masa-masa tersebut misalnya, pada masa permulaan kemerdekaan, tujuan pendidikan terutama berorientasi pada usaha "menanamkan jiwa patriotisme" (S.K. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 104/Bhg. 0, tanggal 1 Maret 1946}, karena pada masa itu negara ingin menghasilkan patriot bangsa yang rela berkorban untuk negara dan bangsa. Dengan semangat tersebut diharapkan kemerdekaan bisa dipertahankan dan dengan semangat itu pula kemerdekaan akan diisi.
Dengan keluarnya Undang-undang No. 4 Tahun 1950, rumusan tujuan pendidikan dan pengajaran mengalami perubahan. Pasal 3 undang-undang tersebut menetapkan bahwa "tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air". Tekanan tampaknya diletakkan pada pembentukan warga negara yang demokratis dan warga negara yang bertanggung jawab sebagai antitesa warga masyarakat terjajah. Tujuan pendidikan ini tidak mengalami perubahan sampai pada saat undanq-undang No. 4 Tahun 1950 diberla-kukan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sebagai Undang-undang no. 12 tahun 1954.
Pada tahun 1965, pada saat Indonesia berada di bawah gelora Manipol/Usdek, rumusan pendidikan nasional disesuaikan dengan situasi politik pada masa itu. Melalui Keputusan Presiden Repu1ik Indonesia No. 145 tahun 1965 tujuan pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut :
“Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang dise1enggarakan oleh pihak Pemerintah maupun Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terse1eng-garanya masyarakat Sosialis Indonesia, adi1 dan makmur baik spirituil dan materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhanan yang Maha Esa, (b) Prikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial seperti dijelas-kan dalam Manipol/Usdek".
Sesudah terjadinya peristiwa G30S/PKI, kembali rumusan tujuan pendidikan mengalami perubahan. Berdasarkan ketetapan Majelis Permu-syawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXVII/MPRS /1966, tujuan pendidikan dirumuskan sebagai berikut: "Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945". Pada masa ini tujuan pendidikan tampaknya diti-tikberatkan pada pembentukan manusia Pancasilais sejati, karena pada masa itu barangkali banyak ditemukan manusia Pancasilais palsu yung tidak sepenuhnya berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang murni.
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilihan umum menge1uarkan ketetapan No. IV/MPH/1973 yang dikenal dengan nama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan tersebut dirumuskan pula tujuan nasional pendidikan yang baru berbunyi sebagai berikut :
Pendidikan pada hakikatnya ada1ah usaha sadar untuk mengem-bangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. 0leh karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki o1eh se1uruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan ada1ah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Pemerintah. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berPancasila dan untuk membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memi1iki pengetahuan dan keterampilan, dapat me-ngembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, men-cintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang temaktub dalam dalam Undang-undang Dasar 1945".
Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989. Pasal 4 undang-undang tersebut menyatakan bahwa :
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan yang berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampi1an , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sementara itu, rumusan tujuan pendidikan nasional yang terbaru dapat dibaca dalam UU No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 yang menegaskan bahwa : “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Mempelajari rumusan-rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan di atas beberapa kesimpulan dapat ditarik:
a) Tujuan pendidikan nasional cukup sering berubah mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada suatu masa.
b) Tujuan pendidikan yang dirumuskan pada umumnya sangat idea1istis, dan tampaknya kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan kesulitan dalam pelaksanaannya di1apangan.
c) Perubahan tujuan tampaknya tidak secara maksimal diikuti dengan perubahan strategi dan piranti yang memungkinkan tujuan tersebut dapat diwujudkan.
2) Komponen-Komponen Sistem Pendidikan Nasional
Lepas dari sega1a variasi rumusan tujuan pendidikan yang telah dike-mukakan di atas, pendidikan nasional merupakan suatu proses yang di-maksudkan untuk membentuk sejumlah kemampuan manusia Indonesia dari berbagai tingkat usia dan golongan yang meliputi: kemampaun kepribadian dan moralitas, kemam-puan inte1ektua1, kemampuan sosial kemasyarakatan, kemampuan vokasional, kemampuan jasmani dan kemampuan-kemampuan lainnya. Untuk mewujudkan tujuan yang beraneka ragam tersebut diperlukan satuan-satuan dan jalur-jalur pen-didikan yang merupakan komponen-komponen sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen sistem pendidikan nasional tersebut dapat dibagi dalam dua go1ongan besar yaitu: (1) Satuan Pendidikan Sekolah dan (2) Satuan Pendidikan Luar Sekolah.
Satuan Pendidikan Sekolah merupakan bagian dari sistem pendi-dikan yang bersifat formal, berjenjang dan berkesinambungan, Dilihat dari jenjangnya, pendidikan sekolah dapat dibagi menjadi Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi. Dilihat dari sifatnya, pendidikan sekolah dapat diklasifikasikan lagi menjadi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendjdikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
Satuan pendidikan luar sekolah meliputi: pendidikan dalam keluar-ga, pendidikan melalui kelompok-kelompok belajar, kursus-kursus, dan satuan-satuan pendidikan lain yang sejenis. Pendidikan pada satuan pendidikan ini bisa bersifat informal, formal, maupun formal.
Sebenarnya masih ada lagi jenis pendidikan lain yang mempunyai potensi untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia. Jenis pendidikan tersebut adalah pendidikan oleh dan untuk diri sendiri atau pendidikan yang diperoleh secara otodidak melalui membaca, memper-hatikan, bertanya, mencari tahu serta bentuk-bentuk pendidikan informal lain yang dipero1eh dari berbagai media massa dan sumber belajar 1ainnya.
Dalam usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang se1uas-1uasnya bagi setiap warga negara serta mendorong terwujudnya masya-rakat belajar melalui proses belajar yang berlangsung seumur hidup, maka semua komponen atau satuan pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi semua warganegara yang memerlukan dan siap memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Begitu juga, semua satuan pendidikan harus bekerja secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain dalam suatu kesatuan sistenm yang merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita pendidikan dalam keluarga belum memainkan peranan yang berarti. Padaha1 Iandasan yang ditanamkan dalam keluarga sangat besar penga-ruhnya bagi proses pendidikan anak se1anjutnya. 0leh karena itu partisipasi keluarga dalam proses pendidikan per1u ditingkatkan .
Keberhasilan komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya juga tergantung pada adanya beberapa sarana penunjang yang ikut membantu berfungsinya komponen-kornponen atau satuan-satuan pendidikan tersebut. Beberapa di antara sarana penunjang dalam sistem pendidikan kita ada1ah: kurikulum, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan dan pengelolaan .
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu ( UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 ). Kurikulum disusun sebagai alat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasiona1. Kuriku1um pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan : peningkatan iman dan taqwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi,kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (UU No. 20 thn 2003 pasal 36).
Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan. Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan ke-giatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan teknis dalam bidang pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, penga-was, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Mereka seharusnya merupakan orang-orang yang profesional yang menguasai tugasnya dan memiliki dedikasi dalam melaksanakan tugasnya.
Berhasilnya suatu satuan pendidikan dalam menunaikan fungsinya perlu ditunjang dengan penyediaan sumberdaya pendidikan yang meliputi: gedung dan perlengkapannya, sumber belajar seperti buku-buku dan alat-alat bantu mengajar dan dana yang memadai.
Meskipun pengelolaan pendidikan nasional berada di bawah tang-gung jawab Menteri Pendidikan Nasional, sebagian tanggung jawab pengelolaan perlu diserahkan kepada pejabat yang langsung berhadapan dengan penyelenggaraan proses pendidikan.
3) Proses Sistem Pendidikan Nasional
Yang dimaksud proses dalam sistem pendidikan nasional adalah mekanisme kerja dalam bentuk berbagai ketentuan, aturan, maupun prosedur yang memungkinkan seluruh komponen sistem pendidikan (pendidikan luar sekolah dan pendidikan. sekolah untuk berbagai jenis dan jenjang) bekerja dan menunaikan fungsi untuk mencapai tujuan yang te1ah ditetapkan. Aturan-aturan tersebut meliputi aturan-aturan mengenai persyaratan masuk ke dalam suatu jenjang dan/atau jenis pendidikan, mata ajaran yang dipelajari dan untuk berapa lama dipelajari, buku-buku yang dipergunakan, prosedur dan tata cara penyelenggaraan pengajaran termasuk metode mengajar dan sistem evaluasi yang dipergunakan, banyaknya pertemuan dalam satu minggu, serta sejumlah aturan lain yang menyangkut pelaksanaan proses pendidikan dan pengajaran.
Sebagian dari aturan-aturan ini ditetapkan dalam bentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, instruksi dari pejabat pendidikan pada berbagai tingkatan dan ketentuan-ketentuan yang dikembangkan sendiri oleh suatu satuan pendidikan baik yang dinyatakan secara tertulis maupun tidak tertulis. Kerapkali komponen-komponen sistem pendidikan yang ada tidak mampu menunaikan fungsinya dengan baik karena tidak ada aturan yang menuntun proses kerjanya, atau karena aturan-aturan yang ada kurang memadai atau seringkali berubah-ubah. Oleh karena itu, aturan-aturan yang bersifat fundamental perlu ditetapkan dalam bentuk ketetapan yang lebih permanen sifatnya seperti undang-undang atau peraturun-peraturan pemerintah.
Tidak semua aturan yang menuntun proses penyelenggaraan pendidikan harus diatur melalui undang-undang atau peraturan pemerintah. Aturan-aturan yang bersifat lebih dinamis dan mudah berubah sebaiknya ditetapkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang dapat diubah dengan cepat.
3. Realisasi Si.stem Pendidikan Nasional dan Permasalahannya
a. Realisasi Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang kita anggap sebagai sumber utama gagasan sistem pendidikan nasional belum genap berusia 1 tahun. Oleh karena itu, mungkin masih terlalu dini untuk menilai realisasi serta pelaksanaannya di lapangan. Peraturan-peraturan pemerintah yang membe-rikan pedoman pelaksanaannya belum disusun. Setelah ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan pemerintah itu disusun barulah dapat dirancang kegiatan-kegiatan pelaksanaannya. Berdasarkan gambaran di atas, dapat diperkirakan bahwa realisasi pelaksanaan undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional secara utuh akan masih memerlukan waktu.
Masyarakat mungkin menaruh harapan yang besar akan kemampuan undang-undang ini dalam menangani masalah-masalah pendidikan. Ada kesan bahwa semua persoalan pendidikan akan bisa diselesaikan - setidak-tidaknya akan lebih mudah diselesaikan - setelah undang-undang ini diberlakukan. Harapan semacam itu mungkin agak berlebihan, karena fungsi utama undang-undang ini pada dasarnya adalah sebagai sumber acuan untuk memulai langkah-langkah pembenahan dalam upaya pendidikan. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat hal-hal yang diatur dalam undang ini menjadi suatu kenyataan.
Perlu disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur semua kegiatan pendidikan yang terjadi di lapangan. Undang-undang pendidikan nasional hanya mampu memberikan arah, dan mem-berikan prinsip-prinsip dasar untuk menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum. Realitas pe1aksanan pendidikan di lapangan akan banyak ditentukan oleh petugas yang berada di barisan paling depan, yaitu guru, kepala sekolah dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya.
b. Masalah-Masalah Pendidikan Yang Ada Sekarang
Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat masalah besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan.
1) Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan ke-pribadian. Di samping itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari pada kualitas. Persentase atau banyaknya lulusan lebih diutamakan daripada apa yang dikuasai atau bisa dilakukan oleh lulusan tersebut.
2) Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif daripada adaptif. Pola motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achie-vement) (Dweck, 1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.
3) Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil pendidikan di kota dan di luar kota, di Jawa dan di luar Jawa. Pendidikan kita sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta didik yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru berhasil meningkatkan kemam-puan peserta didik yang merupakan bibit unggul.
4) Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala, khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. Admi-nistrasi serta sistem pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya masih bersifat sentra1istis yang sarat dengan beban birokrasi . O1eh karena itu persoa1an-persoa1an pendidikan masih sulit untuk ditangani secara cepat, efektif dan efisien.
Apabila kondisi pendidikan seperti ini berlangsung terus dan tidak bisa diubah, disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa lain pada masa-masa yang akan datang . Dalam menghadapi persa-ingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam bidang ekonomi, manusia Indonesia barus bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif, sanggup bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di samping tentu saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar sebagian besar manusia Indonesia dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Sebagai suatu perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik mereka dengan cara mendorong dan mengajar mereka bekerja keras sejak aval untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata mengandalkankan pada bakat dan kemampuan alamiah. Sebaliknya, pendidikan Amerika lebih mengandalkan hasil pendidikannya dari anak-anak yang memiliki kemampuan tinggi ( Gordon, 1987; Sidabalok, 1989 ).
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 telah meletakkan landasan bagi pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat dijadikan sebagai titik acuan dalam pengembangan pendidikan 1ebih lanjut. Apabila kita percaya bahwa kemampuan survival bangsa kita dimasa-masa yang akan datang ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, begitu juga apabila kita percaya bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka sistem pendidikan nasional harus diupayakan agar dapat memecahkan masalah serta mengatasi kendala-kendala yang disebutkan di atas.
c. Usaha-usaha ke arah pemecahan masalah
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama dalam pelaksahaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagai-mana meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam me-ningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama satuan pendidikan.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Na-sional tidak secara eksplisit mengatur masalah mutu pendidikan, melainkan hanya menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan, kurikulum, evaluasi, penge-lolaan dan pengawasan.
Mangieri (1985, hlm.1) menyebutkan 8 faktor yang paling sering disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan. Kede-lapan faktor tersebut adalah; kurikulum yang ketat, guru yang kompeten, ci-ri-ciri keefektifan, penilaian, keterlibatan orang tua dan dukungan masyarakat, pendanaan yang memadai, disiplin yang kuat, dan keterikatan pada ni1ai-ni1ai tradisiona1. Komisi nasional mengenai keunggulan dalam bidang pen-didikan Amerika dalam laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk merekomendasikan bahwa keunggulan (exelence) dalam bidang pendidikan dapat diwujudkan me1a1ui cara-cara berikut: menambah banyaknya pekerjaan rumah, mengajar siswa sejak permu1aan keterampi1an belajar dan bekerja, melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik, sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan semaksima1 mungkin, menerapkan aturan yang tegas mengenai tingkah laku di sekolah dan mengurangi beban administrasi guru.
Persoa1an kedua ada1ah bagaimana mendemokratiskan sistem pen-didikan dalam arti yang sesungguhnya. Semua pasal 4,5, dan 6 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur agar sistem pendidikan nasiona1 kita memberikan ke-sempatan yang sama kepada semua warga negara untuk mempero1eh pen-didikan secara demokratis. Namun dalam praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada kesempatan yang sama dalam mempero1eh pendidikan - yang cukup banyak diantaranya masih berkua1itas rendah - be1um kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang rendah kualitasnya tidak banyak artinya dalam kehidupan. Karena kualitas ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas baru bisa diriikmati oleh sebahagian kecil warganegara yang memiliki kelebihan da1am kemampuan intelektua1 maupun kemampuan ekonomis.
Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan mem-peroleh pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan menstandardisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan menye-1enggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis, apakah lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar Jawa perlu diusahakan agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi syarat dengan sistem insentif yang mendorong kegairahan kerja, dan satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti , anak-anak yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.
Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang dise-lenggarakan dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan mempe-roleh kesempatan untuk rnengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan sebagian besar warga-negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Sementara itu ayat 2 menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan pada ayat 3 mengatakan bahwa wajib belajar itu merupakan tanggung jawab negara. Mengingat demikian vitalnya peranan kewajiban belajar dalam upaya peningkatan kemampuan warganegara, maka peraturan pemerintah yang akan mengatur pelaksanaanya perlu segera dikeluarkan, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 4 pasal 34.
Sulit diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak dari generasi sebelumnya. Soalnya kondisi kehidupan pada masa sekarang ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Namun demikian, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang ini untuk beberapa bidang studi tertentu cukup memprihatinkan. Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan untuk menerangkan gejala ini adalah bahwa mereka kurang memiliki motivasi untuk belajar. Mereka pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau menghadapi kesulitan, dan lebih me-nyukai pelajaran yang mudah daripada pelajaran yang sukar. Oleh karena itu, adalah merupakan tanggung jawab semua lembaga pendidikan untuk mena-namkan kesadaran kepada peserta didiknya akan pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar
4. Ringkasan dan Kesimpulan
Konsep dasar pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional te1ah dikemukakan. Demikian pula konteks sejarahnya. Sistem pendidikan nasional mempunyai peranan yang strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sum-berdaya manusia Indonesia dimasa yang akan datang. Upaya pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat diandalkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya merupakan suatu usaha besar yang cukup rumit pengaturan maupun pe-1aksanaannya, akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat vital. 0leh karena itu penanganan masa1ah pendidikan harus dilakukan secara bersistem, karena tidak pernah akan tuntas kalau di1aksanakan oleh lembaga-1embaga pendidikan secara individual melalui cara-cara yang bersifat monolitik. Dengan perkataan lain, semua komponen sistem pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat, media massa ) harus berperan serta. Namun demikian, agar semua usaha tersebut dapat mencapai tujuannya secara rnaksimal, usaha-usaha tersebut perlu diatur melaiui suatu strategi nasional yang memiliki landasan yang kuat.
Melihat luasnya tujuan yang ingin dicapai, banyaknya komponen yang terlibat, serta terbatasnya sarana pendukung dalam proses pelaksanaannya, realisasi sistem pendidikan nasional tentu saja akan dihadapkan pada berbagai kendala. Namun demikian, landasan sistem pendidikan nasional telah diletakkan sebagai titik acuan dalam usaha melakukan pembenahan lebih lanjut.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ardhana, Wayan (1990). Atribusi terhadap sebab-sebah keberhasi1an dan kegagalan, serta kaitannya dengan motivasi berprestasi, Pidato pengukuhan Guru Besar, IKIP Malang.
Ardhana, Wayan (1990). Hakikat kewajiban belajar dalam menyongsong rintisan kewajiban belajar SLTP, naskah tidak dipublikasikan.
Ardhana, Wayan (1991). Kebijakan pemerintah dalam strategi pendidikan nasional. Makalah dalam Seminar Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .
Bebby, C.E. (1982). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan pedoman perencanaan, LP3ES, Jakarta.
Clifford, Margaret M. { 1990 ). Students need challenge, not easy success, Educational Leadership, 48 (1), 22 - 34.
Cummings, William K. ( 1980 ). Education and equality in Japan, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Dweck, Carol S. (1986). Motivational processes affecting learning, American Psychologist, 41(10), 1040-1048.
Garder, David P. , chair ( 1983 ). A nation at risk: The imperative of educational reform, The National Commission on the Excellence in Education, Washington, D.C.
Gordon, Bonnie (1987). Cultural Comparison of schooling, Educational Researcher, August - September, 4-7.
Naisbett, John & Aburdene, Patricia ( 1990 ). Sepuluh arah baru untuk tahun 1990-In: Megatrends 200, Binarupa Aksara,Jakarta.
Mangieri , John N, ( 1985 ). The challenge of attaining excellence, dalam Mangieri, John N. ( Editor ) Excellence in Education, Texas Christian University Press, Forth Worth,
Razik, T.A. (1969). The fundamental of educational planning: Lecture-discus-sion series No. 45, System analysis and educational design,Unesco: International Institute for Educational Planning, Paris.

Sidabalok, Simon (1989). A.S.negara kaya yang semu: Kedudukannya semakin terancam, Kompas, l9 Nopember, hlm.9.
--------- Undang-undang Republik Indonesia, No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Repub1ik Indonesia, 1989.
.--------- Undang-undang Republik Indonesia,No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Pen. CV Aneka Ilmu, cet. 1 tahun 2003

SUMBER :
-lpizukdi

SEJARAH PENDIDIKAN KEWIRAAN MENJADI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NAMA : MUJI RIYANTORO
NPM : 31109537
KELAS : 2DB21
MAT KUL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN #
DOSEN : RETMIARTI
KODE : PP000207

PENDAHULUAN
1. Landasan dan Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewiraan (Kewarganegaraan)
Aspek lingkungan fisik yang khas sebagai lebensraum tiap orang menyebabkan amat dipentingkannya penataan aspek kehidupan yang meliputi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Di Indonesia, penataan telah diupayakan sejak diproklamirkannya kemerdekaan. Penataan yang dimaksud terutama ialah penataan diri setiap orang Indonesia untuk tetap konsisten menegakkan proklamasi dan cita-cita yang terdapat didalamnya. Kompetensi penataan diri tiap orang terutama karena ha-hal sebagai-berikut:
1. Mudah sekali dijumpai orang yang tidak dapat menjawab dengan benar, misalnya ketika ditanyakan tentang apa Pancasila itu, dan mengapa Bangsa Indonesia menjadikamya sebagai Ideologi Negara.
2. Banyak pula orang yang masih memimpikan Ideologi/faham lain selain Pancasila, dan bahkan menganggap Agama dapat dijadikan ideology, serta adanya upaya mengkonyugasikan agama dengan ideology.
3. Politik tidak diimplementasikan dengan benar sesuai dengan definisi politik itu sendiri, termasuk prinsip demokrasi yang tidak mampu diimplementasikan Perguruan Tinggi meskipun masyarakat dipaksakan untuk menegakkan demokrasi.
4. Turunya kualitas kehidupan secara sosial, budaya, dan agama dengan diwajarkanya Korupsi yang bahkan diselenggarakan terang-terangan dan berjama'ah, Kolusi, Nepotisme, Primordialisme, serta penghargaan terhadap Separatisme dan Terorisme.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, diasumsikan Negara ini tidak akan pemah mencapai Tujuan Nasionalnya, dan setiap orang didalamnyapun tidak akan pernah mencapai Kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat. Oleh karena itu, dalam kuliah Pancasila dan kuliah Kewiraan (Kewarganegaraan) di Perguruan Tinggi yang pesertanya Mahasiswa (selaku peserta didik yang mampu berfikir logis, jujur, kreatif dan dinamis), penggunaan pendekatan pemikiran filsafat pada proses pembelajaran Pancasila sekaligus pendekatan geopolitis pada pembelajaran Kewiraan harus diterapkan secara benar dan dapat diterima akal fikiran mahasiswa sehingga akan dipahami dan diimplementasikannya secara benar.
Melalui bidang pendidikan, Pemerintah mengeluarkan suatu keputusan yaitu Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/21)OU dan No. U45/U/2Ib2 untuk memberlakukan kurikulum baru bagi Pendidikan Tinggi. Kurikulum tersebut merupakan kurikulum yang menawarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK ini menekankan kejelasan hasil didik sebagai seorang yang kompeten dalam hal menguasai penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu dalam bentuk kekaryaan ini menguasai sikap berkarya dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 43/DIM/Kep/2006, mengatur tentang rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Kepribadian di Perguruan Tinggi. Dalam keputusan tersebut pada pasal 1 dituliskan Visi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Parguruan Tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Misi kelompok MPK dalam membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.
Kompetensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadikan ilmuwan professional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis yang berkeadaban mejadi warga Negara yang memiliki daya saing, dan disiplin (lain berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
Dengan kompetensi yang dimilikinya, seorang lulusan pendidikan tinggi harus mampu bertindak sebagai a method of inguiry dalam perannya sebagai pencerah masyarakat, berkehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak lagi menjadikan seseorang sebagai human investment pembanggunan, tetapi mengantarkan seseorang sebagai intelellectual capital dalam dimensi keperanan sebagai human capital, structural capital, dan relational capital atau customer capital. Intelectual capital tersebut bagi seseorang akan ditemukan dan dimantapkan melalui proses belajar sepanjang hayat (continuing education atau life long education) yang berwujud a method of ingury yang bersifat dinamis progresif.
Cara untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi, tersebut ialah dengan pengembangan kepribadian sebagaimana Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yakni dengan pemberlakuan mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewiraan/Kewarganegaraan pada setiap bentuk Pendidikan Tinggi di Indonesia. Melalui pendidikan ini, berbekal kompetensi yang dimiliki seseorang lulusan pendidikan tinggi harus menjadi warga negara yang penuh tanggung jawab sekaligus sebagai pejuang negara dalam rangka memelihara eksistensi Negara dan bangsanya, dan sebagai tujuan umum, mahasiswa selanjutnya lebih berupaya membentuk kepribadiannya selaku warga negara Indonesia seutuhnya, nasionalis, kepentingan berkehidupan bernegara.
Melalui pokok-pokok bahasan pada mata kuliah Pendidikan Pancasila dan dilanjutkan dengan Pendidikan Kewiraan (Kewarganeraan), setelah selesainya proses pembelajaran, seyogyanya. Mahasiswa dapat menjelaskan dan berperilaku sebagai berikut :
1. Landasan histories dan yuridis Pendidikan Pancasila dan Kewiraan/ Kewarganegaraan.
2. Pancasila sebagai sistem filsafat, etika politik, dan paradigma berbangsa.
3. Kepentingan ideologi bagi suatu Negara.
4. Pengembangan identitas nasional.
5. Konsepsi HAM dan implementasi Demokrasi Pancasila.
6. Aspek geopolitik bangsa Indonesia.
7. Konsepsi dan Implementasi Ketahanan Nasional.
8. Perwujudan Politik dan Strategi Nasional dalam bentuk Ketahanan Nasional.
9. Berpartisipasi dalam Pertahanan dan Keamanan Nasional.
10. Mengutamakan Kewajibannya daripada penuntutan haknya.
11. Memiliki pola pikir komprehensif integral pada aspek kehidupan nasional.
12. Mengidentifikasi perkembangan IPTEK dalam rangka Ketahanan Nasional.
2. Upaya-Upaya Pendidikan Kepatriotan
Pendidikan kepatriotismean yang menjadi cita-cita penulis adalah upaya sadar yang direncanakan negara dan dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mendidik warga negaranya agar tiap waktu rencana dan aktifitasnya selalu berkesadaran dan berkesiagaan demi negara dengan sikap Patriotik.
Sikap yang Patriotik, yakni melihat dengan tajam dan teliti masalah yang dihadapi secara nasional, baik dalam bentuk kerawanan maupun dalam bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, serta mampu menemukan peluang yang terbuka sehingga dapat mengambil sikap dan keputusan yang benar dan baik bagi keselamatan, kelestarian, dan kepentingan bangsa dan negara. Negara-negara lainpun mempunyai konsep dan cara pendidikan tersendiri untuk hal tersebut, bahkan lebih ekstrim dalam bentuk wajib Militer.
Pendidikan demikian sebagaimana dahulunya dalam bentuk Kuliah Kewiraan, namun oleh karena kata Kewiraan telah lama dianggap berbau Militeristik dan bahkan dicurigai oleh sebagian orang pada beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai mata kuliah Indoktrinasi, terutama karena sebelumnya kewiraan diajarkan keperguruan tinggi oleh Perwira-perwira Militer minimal berpangkat Kolonel oleh karena Militer dianggap lebih memahami, maka untuk mensipilkan mata kuliah tersebut diadakanlah Kursus Singkat bagi Calon Dosen Kewiraan di Lembaga Pertahanan Nasional Jakarta.
Selanjutnya dua Umversitas besar di Indonesia UGM dan UI menyelenggarakan Program Studi Ketahanan Nasional pada Strata II (S2) untuk mempersiapkan tiap Sarjana dari berbagai bidang agar dapat menggali, memperdalam dan mengaktualisasikan pengetahuan tersebut dengan berdasarkan keilmuan dan data empirik yang berhubungan dengan peningkatan kualitas sumberdaya warga negara demi kemajuan negara dan tujuan negara. Hal-hal tersebut tidak dipahami oleh banyak orang Perguruan Tinggi sehingga pada tahun 2000 dengan semangat Reformasi, penolakan terhadap Dwifungsi ABRI maka nama Mata kuliah Kewiraan (yang khusus untuk Mahasiswa) diubah jadi Pendidikan Kewarganegaraan yang pada akhirnya justru dianggap tidak berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan di SD, SLTP atau SLTA.
Kata Kewiraan sesungguhnya dapat dipahami sebagai suatu upaya progresif agar orang mampu berjiwa Perwira (yakni berjiwa antisipasi terhadap ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan apapun terhadap eksistensi Negara dan bangsanya). Imbuhan `Ke' pada kata Kewiraan berarti Kemampuan sekaligus Kebijakan dari seorang Wira dimana Wira bermakna juga Patriot (berarti Pahlawan/pembela) dari Patria (berarti Tanah Air). Maka Kewiraan berarti Kesadaran bersikap kesatria membela Tanah Air.
Membela Tanah Air tidak selalu mengangkat senjata sebagaimana masa perang Kemerdekaan. Banyak cara untuk membela Tanah Air, baik melalui keahlian maupun keterampilan dari bidang Ilmu tertentu untuk meningkatkan kualitas fisik dan non fisik aspek-aspek kehidupan masyarakat, upaya lainnya dalam berbudaya dan berolah raga.
Sejak dahulu kala selalu ada kerawanan akan eksistensi suatu Kerajaan atau Negara, Kewiraan didefenisikan sebagai titik-titik kelemahan yang terdapat dalam kehidupan manusia dan masyarakat diberbagai aspek dan sektornya dengan akibat mempermudah datangnya ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap usaha menghayati suatu paham/ideologi negara. Sedangkan ancaman didefenisikan sebagai tindakan potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan bersifat konseptual, baik tertutup maupun terbuka yang bertujuan untuk mengubah kesatuan, paham/ideologi maupun menggagalkan pembangunan nasional.
Gangguan diartikan sebagai tindakan, potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak bersifat konseptual, dan berasal dari luar diri sendiri yang bersifat merongrong kesatuan, paham/ideologi. Hambatan diartikan sebagai tindakan, potensi, atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak konseptual dan berasal dari dalam diri sendiri, dalam arti tidak mengamalkan makna kesatuan, paham/ideologi, dan tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Tantangan adalah tindakan, potensi atau kondisi baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri yang membawa masalah untuk diselesaikan serta dapat menggugah kemampuan diri.

PENTINGNYA PENDIDIKAN KEWIRAAN
1. Latar Belakang Sejarah.
Sejarah nasional sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 mencatat bahwa terjadi pemberontakan-pemberontakan yang membahayakan kelangsungan negara kesatuan RI. Pemberontakan-pemberontakan tersebut jika diselidiki mendalam disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah Ideologi Komunis, Liberal dan dampak politisnya, Frusfasi (PRRI, DI/TII).
2. Mengemban Tugas kemasa depan.
Peristiwa dan pengalaman serta terjadinya pemberontakan-pemberontakan tersebut membuat bangsa Indonesia menjadi sadar, betapa besar bahaya yang harus dihadapi oleh bamgsa dan negara dan betapa jauh akibat malapetaka yang harus diderita oleh rakyat. Oleh karena itu, kewaspadaan sejak dini diusahakan agar peristiwa-peristiwa yang membawa penderitaan dan kesengsaraan rakyat tidak terulang kembali.
Hal tersebut tentu saja tidak hanya dilakukan dengan kesiapan dan kewaspadaan terhadap apa yang akan membahayakan bangsa dan negara pada waktu mendatang ataupun dengan sekedar tindakan represif, terutama dengan menggali akar penyebabnya untuk dipecahkan, serta menjaga jangan sampai kita sendiri menciptakan suatu kondisi yang rawan serta mengundang peristiwa-peristiwa semacam itu terjadi kembali. Disamping itu, harus disadari bahwa pemberontakan-pemberontakan itu bukanlah perisitiwa yang insidentil atau tergantung pada perorangan, tetapi benar-benar dilakukan dalam kelompok masyarakat dan dalam satuan sosial yang tidak kecil dan tersebar di Nusantara ini, dengan perencanaan yang terarah, dengan organisasi dan koordinasi yang cukup rapi, serta dilandasi dengan motivasi dan paham ideologi yang jelas, dan tidak sekadar berada pada permukaan saja.
Jelas bahwa kewaspadaan harus dibekali dengan pemahaman yang tegas tentang kerawanan-kerawanan yang ada dalam tubuh bangsa, semangat yang tinggi, serta didasari ketakutan yang mantap atas ideologi Pancasila.
Bagi kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, karakter sebagai Perwira Patriot harus diaktualisasikan secara benar, implisit tersirat dari pentingnya keterbukaan informasi dan tujuan reformasi.
Berbagai masalah rumit sebelum sekarang dan mendatang menyebabkan perubahan potensial untuk meningkatkan diversitas dalam negara. Hal tersebut memicu terbentuknya assosiasi dan dissosiasi baru dalam kelompok-kelompok masyarakat yang juga berpotensi untuk menimbulkan gangguan sekuritas.
Hal itu terjadi dengan adanya kekerasan individual, keluarga, lembaga, subnasional dan supranasional yang dilakukan berbagai pihak dengan kepentingamya sendiri, dengan memanfaatkan politik. Munculnya perbedaan persepsi diantara supra dan infra struktur maupun antar generasi pemikir dan elit-elit politik domestik, serta persepsi sipil militer yang merupakan problem yang harus dibedah dalam koridor transparansi/keterbukaan yang biasanya selalu dilawankan dengan stabilitas politik maupun status quo.

IDEOLOGI PANCASILA
1. Ideologi
Keberadaan ideologi memang nyata telah memunculkan hampir semua negara-bangsa di dunia, namun secara faktual masyarakat kini tidak berminat untuk mempelajari ideologi, interaksi ideologi politik, ajaran dan pola kelembagaanya, akibat daripadanya, serta prospek masa depamya.
Sulitnya pendefenisian istilah "ideologi" merupakan masalah karena penggunaan kata-kata dan konotasi yang tidak tepat telah ada padanya secara historis. Ada banyak defenisi tentang ideologi, sebagai contoh Carl J. Friedrich (dalam "Man and His Govemment: An Empirical Theory of Politics", 1963) telah menawarkan gambaran yang luas guna orientasi dalam studi tentang ideologi-ideologi politik utama sekarang ini. Dikatakamya bahwa Ideologi merupakan sistem-sistem pikiran yang geraknya berhubungan, memuat suatu program dan strategi bagi realisasinya serta fungsi menyatukan organisasi-organisasi disekelilingnya.
D. Easton dalam "A Systems Analysis of Political Life" (1965) memberikan pengenalan dan deskripsi, bahwa ideologi adalah seperangkat pikiran-pikiran, tujuan-tujuan dan maksud-maksud yang bersambung, yang membantu angota-anggota sistem untuk menafsirkan masa lalu, menerangkan yang sekarang, dan menawarkan suatu pandangan bagi masa depan. Berdasarkan penelitian yang intensif dan berfikir secara reflektif final sebagai cara berfikir dalam Filsafat Integralisme (yang diistilahkan Filsafat Pancasilaisme), Abdulkadir B. dalam "Pancasila Ideologi Terbuka" (1996) mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenaramya oleh suatu masyarakat dan dijadikan dasar menata dirinya dalam menegara.
Nilai intrinsik yang ada pada Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup atau metode untuk memahami kehidupan sesama bagi setiap orang sebagai praktisinya itu adalah benar mutlak secara filsafati dan empiris. Harus dipahami pula bahwa setiap ideologi mempunyai dasar filsafat tertentu yang menghasilkan nilai tertentu berdasarkan metode berpikimya sendiri yang khas, sehingga wataknya dan orang-orang penganutnya khas pula, baik pada ideologi komunis, liberal, dan pancasila. Oleh karenanya, untuk menilai setiap fenomena yang ada, terdapat perbedaan nilai (value) dan cara yang berbeda sebagai akibat cara memandang yang berbeda dari ideologi. Sehingga adu argumentasi dari para pendebat yang berideologi/faham berbeda bagaimanapun tidak akan memperoleh kesamaan pendapat dan kesamaan persepsi tentang peri kehidupan.
ldeologi dalam konteks masa kini, di saat perubahan sedang berlangsung dengan cepat dan mendasar sebagai akibat dan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta temuan-temuan spektakulerya, serta jika dikaitkan dengan orde reformasi, telah menempatkan kita pada suatu kompleksitas permasalahan yang klasik, fundamental, sekaligus aktual. Klasiknya ideologi, karena masalah ideologi sudah muncul semenjak tahun 1796 saat diintroduksikan pada masa Revolusi Perancis oleh filsuf A. Destutt de Tracy dengan memberi batasan sebagai. "Science of Ideas" atau ilmu pengetahuan tentang ide-ide (studi asal mula, perkembangan, dan sifat dari ide-ide), sebagaimana biasa, terhadap sesuatu yang baru selalu diikuti kontradiksi antara yang pro dan yang kontra. Sejak pada masa itu istilah ideologi dilingkungi oleh pemaknaan yang naif sebagai hasil fallacy penentangnya.
Ideologi telah dipersamakan dengan berbagai cara, gaya, atau buah fikiran paham totaliter, sehingga tidak disukai banyak kalangan hingga saat ini. Pencemaran nama baik dan ide benar dari ideologi ini dimulai sejak Napoleon Bonaparte yang mempergunakamya untuk menghina para intelektual liberal dari Institute de France. Banyak sosiolog mengkarakterisir ideologi sebagai bentuk propaganda politik pemerintah yang salah kaprah, terlalu muluk, dan mengada-ada, dan berkembang dengan berbagai tafsir beserta implikasinya yang tidak saja berbeda bahkan saling bertentangan. Fundamental karena setiap ideologi selalu menyentuh semua segi dan sendi kehidupan umat manusia sebagai pendukungnya secara mendasar.
Aktualnya ideologi karena dalam kehidupan umat manusia di akhir abad XX sekarang ini aspek-aspek ideologi selalu mewarnai setiap fenomena yang muncul dalam percaturan di bidang apapun dan di manapun. Jika dipelajari, dalam perbendaharaan sejarah filsafat, akan dijumpai sekian banyak deskripsi yang berbeda dan dengan arah serta makna yang berbeda pula. Masing-masing memberi kejelasan bahwa setiap konsep ideologi selalu bertolak dari suatu keyakinan filsafat tertentu, terutama keyakinan filsafat tentang apa, dan siapa manusia sebagai subjek pendukungnya, hak serta kewajiban dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan, dan bagaimana corak masyarakat yang harus diwujudkan. Pengejawantahannya tercermin dalam kehidupan praksis, baik di bidang spiritual, maupun di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya suatu masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.
Masalahnya memang menyangkut hal-hal untuk merealisasikannya yang abstrak dan idiil, namun apabila tersedia peluang yang tepat ideologi akan menjadi sangat konkrit. Karena itu membicarakan masalah ideologi tanpa meletakkannya pada konteks keyakinan filsafati yang menjadi dasarnya, maka hanya kulitnya saja yang akan kita sentuh. Keracunan dan distorsi pemikiranlah yang pada akhimya akan menjerumuskan kita pada penyempitan wawasan, terbatas pada dimensi fenomenalnya saja, sedemikian rupa sehingga sulit bagi kita untuk menangkap arti serta makna peristiwa-peristiwa yang hadir di hadapan kita pada zaman yang sedang dilanda arus globalisasi yang begitu deras.

SUMBER :
-Junarmi Stai
-VB Non regular
-KELOMPOK MAHASISWA PENELITI DAN PENGABDI MASYARAKAT (KMP2M)

SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NAMA : MUJI RIYANTORO
NPM : 31109537
KELAS : 2DB21
DOSEN : RETMIARTI
KODE : PP000207
MAT KUL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN #

SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan jamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh Bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai–nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai–nilai ini dilandasi oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam wadah Nusantara.

Semangat perjuangan bangsa yang telah ditunjukkan pada kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan untuk berkorban. Landasan perjuangan tersebut merupakan nilai–nilai perjuangan Bangsa Indonesia. Semangat inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Republik Indonesia. Selain itu nilai–nilai perjuangan bangsa masih relevan dalam memecahkan setiap permasalahan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta terbukti keandalannya. Tetapi nilai–nilai perjuangan itu kini telah mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa telah mengalami penurunan pada titik yang kritis. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh globalisasi.

Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga–lembaga kemasyarakatan internasional, negara–negara maju yang ikut mengatur percaturan politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan global. Disamping itu, isu global yang meliputi demokratisasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi juga ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang informasi, komunikasi, dan transportasi. Hingga membuat dunia menjadi transparan seolah–olah menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas negara.
Semangat perjuangan bangsa ynag merupakan kekuatan mental spiritual telah melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam masa perjuangan fisik. Sedangkan dalam era globalisasi dan masa yang akan datang kita memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing–masing. Perjuangan non fisik ini memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan mahasiswa sebagai calon cendikiawan pada khususnya, yaitu melalui Pendidikan Kewarganegaraan.

PENGERTIAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NAMA : MUJI RIYANTORO
NPM : 31109537
KELAS : 2DB21
MAT KUL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN #
DOSEN : RETMIARTI
KK : PP00O207

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

I. Pendahuluan
Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.
a) Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :
Ø Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Ø Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
Ø Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berbentuk republik yang telah diakui oleh dunia internasional dengan memiliki ratusan juta rakyat, wilayah darat, laut dan udara yang luas serta terdapat organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkuasa. Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.
b) Fungsi-Fungsi Negara :
1)Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat
Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
2)Melaksanakan ketertiban
Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
3)Pertahanan dan keamanan
Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
4)Menegakkan keadilan
Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan.
II. Pengertian dan Konsep Pendidikan Kewarganegaraan
a) Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan “Civis”, selanjutnya dari kata “Civis” ini dalam bahasa Inggris timbul kata ”Civic” artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata “Civic” lahir kata “Civics”, ilmu kewarganegaraan dan Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan.
Pelajaran Civics mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of Americanization”. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics membicarakan masalah ”government”, hak dan kewajiban warga negara dan Civics merupakan bagian dari ilmu politik.
Beberapa definisi Pendidikan kewarganegaraan menurut para ahli :
Ø Azzumardi Azra : “Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengkaji dan membahas tentang pemerintahan konstitusi lembaga-lembaga demokrasi rule of law, HAM, hak dan kewajiban warganegara serta proses demokrasi.
Ø Zamroni : “Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis.”
Ø Merphin Panjaitan : “Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidkan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warganegara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial.”
Ø Civitas Internasional : “Civic Education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, HAM, penguatan ketrampilan partisipatif yang demokratis, pengembangan budaya demokratis dan perdamaian.”
Ø Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas : “Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan tertentu (secara khusus: Negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga Negara. Seseorang warga Negara berhak memiliki paspor dari Negara yang dianggotainya.” .
b) Konsep Pendidikan Kewarganegaraan
Konsep Pendidikan kewarganegaraan dalam sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status.
Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat.
III. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan
Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam belanegara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar belanegara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.
Standarisi pendidikan kewarganegaraan adalah pengembangan :
1. Nilai-nilai cinta tanah air;
2. Kesadaran berbangsa dan bernegara;
3. Keyakinan terhadap Pancasila sebagai ideology negara;
4. Nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. Kerelaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara, serta
6. Kemampuan awal belanegara.
Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup :
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara. untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945. Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK.
2. Tujuan Khusus
1) Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
2) Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional
3)Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
IV. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
a) Pada Masa Orde Lama
Pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau “Eka Prasetia Pancakarsa”.
Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975.
Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila.
Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
b) Pada Masa Orde Baru
Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggan¬tikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripati¬kan dari Pancasila dan P4.
Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokra¬si konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah Pancasila dan Kewiraan.
Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan.
Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Dalam status keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4 mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4 atau BP7 Pusat dan Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabu¬tan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakar¬sa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi di likuidasi. Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersi¬kap, dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik.
V. Perbandingan Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
a) Pada Masa Orde Lama
Mata Pelajaran Kewargaan Negara telah mengalami revitalisasi dari masa ke masa. Pada orde lama dan perkembangannya, sebelum mata pelajaran pendidikan Kewargaan Negara, kita pernah mengenal Pendidikan Pancasiladan Kewarganegaraan (PPKn) pada kurikulum 1994, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada kurikulum 1984, PKN pada kurikulum 1973.
Civics tahun 1962 yang tampil dalam bentukin doktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsure dari pendidikan kewargaannegara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang di identikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasiladan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsepnilai yang di saripatikan dari Pancasila dan P4. Krisisoperasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Landasan Hukum
1) UUD 1945, Alinea kedua dan keempat, Pasal 27 (1), Pasal 30 (1), Pasal 31 (1).
2) UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI (jo. UU No. 1 tahun 1988).
3) UU No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
4) Kep. Dirjen Dikti No. 267/dikti/kep./2000 tentang penyempurnaan kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) PKn pada PT di Indonesia.
b) Pada Masa Orde baru
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru adalah suatu orde yang mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat dan nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD 1945. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai tonggak lahirnya Orde Baru
Menurut Azyumardi Azra (2001), setidaknya terdapat tiga faktor mengapa pendidikan kewarganegaraan nasional dalam beragam bentuknya mengalami kegagalan. Pertama, menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewargaan. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif.
Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis daripada praksis. Walhasil hasil pembelajaran ketiga model pendidika kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat dianalogikan dengan ungkapan klasik ”jauh panggang dari api” ; kurang menyentuh realitas yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional.
VI. Kesimpulan
Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai aki¬batnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.
Secara konseptual “Pendidikan Kewarganegaraan” atau citizenship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat “lintas-bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling-keterpautan yang bersifat komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan.Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah; (b) salah satu dimensi dari social studies adalah citizenship education (NCSS:1994, CICED:1998), khususnya dalam upaya pengembangan intelligent social actor (Banks:1977, NCSS:1994).Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis.
Perubahan demi perubahan yang dilakukan dari orde lama, orde baru bahkan reformasi berguling membawa wajah baru pada Pendidikan Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan dan aplikasi social. Maka perlu pendalaman pemikiran dalam mengatasi dan memberikan solusi yang solutif di dalamnya. Bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja dalam upaya hal tersebut, melainkan individual dan social seluruh warga Negara juga bertanggung jawab memberikan sumbangan konstribusi positif.

SUMBER :
- CHAIRUL LUTFI
- Blog UIN MALIKI MALANG