Jumat, 04 Maret 2011

SEJARAH PENDIDIKAN KEWIRAAN MENJADI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NAMA : MUJI RIYANTORO
NPM : 31109537
KELAS : 2DB21
MAT KUL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN #
DOSEN : RETMIARTI
KODE : PP000207

PENDAHULUAN
1. Landasan dan Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewiraan (Kewarganegaraan)
Aspek lingkungan fisik yang khas sebagai lebensraum tiap orang menyebabkan amat dipentingkannya penataan aspek kehidupan yang meliputi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Di Indonesia, penataan telah diupayakan sejak diproklamirkannya kemerdekaan. Penataan yang dimaksud terutama ialah penataan diri setiap orang Indonesia untuk tetap konsisten menegakkan proklamasi dan cita-cita yang terdapat didalamnya. Kompetensi penataan diri tiap orang terutama karena ha-hal sebagai-berikut:
1. Mudah sekali dijumpai orang yang tidak dapat menjawab dengan benar, misalnya ketika ditanyakan tentang apa Pancasila itu, dan mengapa Bangsa Indonesia menjadikamya sebagai Ideologi Negara.
2. Banyak pula orang yang masih memimpikan Ideologi/faham lain selain Pancasila, dan bahkan menganggap Agama dapat dijadikan ideology, serta adanya upaya mengkonyugasikan agama dengan ideology.
3. Politik tidak diimplementasikan dengan benar sesuai dengan definisi politik itu sendiri, termasuk prinsip demokrasi yang tidak mampu diimplementasikan Perguruan Tinggi meskipun masyarakat dipaksakan untuk menegakkan demokrasi.
4. Turunya kualitas kehidupan secara sosial, budaya, dan agama dengan diwajarkanya Korupsi yang bahkan diselenggarakan terang-terangan dan berjama'ah, Kolusi, Nepotisme, Primordialisme, serta penghargaan terhadap Separatisme dan Terorisme.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, diasumsikan Negara ini tidak akan pemah mencapai Tujuan Nasionalnya, dan setiap orang didalamnyapun tidak akan pernah mencapai Kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat. Oleh karena itu, dalam kuliah Pancasila dan kuliah Kewiraan (Kewarganegaraan) di Perguruan Tinggi yang pesertanya Mahasiswa (selaku peserta didik yang mampu berfikir logis, jujur, kreatif dan dinamis), penggunaan pendekatan pemikiran filsafat pada proses pembelajaran Pancasila sekaligus pendekatan geopolitis pada pembelajaran Kewiraan harus diterapkan secara benar dan dapat diterima akal fikiran mahasiswa sehingga akan dipahami dan diimplementasikannya secara benar.
Melalui bidang pendidikan, Pemerintah mengeluarkan suatu keputusan yaitu Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/21)OU dan No. U45/U/2Ib2 untuk memberlakukan kurikulum baru bagi Pendidikan Tinggi. Kurikulum tersebut merupakan kurikulum yang menawarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK ini menekankan kejelasan hasil didik sebagai seorang yang kompeten dalam hal menguasai penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu dalam bentuk kekaryaan ini menguasai sikap berkarya dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 43/DIM/Kep/2006, mengatur tentang rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Kepribadian di Perguruan Tinggi. Dalam keputusan tersebut pada pasal 1 dituliskan Visi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Parguruan Tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Misi kelompok MPK dalam membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.
Kompetensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadikan ilmuwan professional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis yang berkeadaban mejadi warga Negara yang memiliki daya saing, dan disiplin (lain berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
Dengan kompetensi yang dimilikinya, seorang lulusan pendidikan tinggi harus mampu bertindak sebagai a method of inguiry dalam perannya sebagai pencerah masyarakat, berkehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak lagi menjadikan seseorang sebagai human investment pembanggunan, tetapi mengantarkan seseorang sebagai intelellectual capital dalam dimensi keperanan sebagai human capital, structural capital, dan relational capital atau customer capital. Intelectual capital tersebut bagi seseorang akan ditemukan dan dimantapkan melalui proses belajar sepanjang hayat (continuing education atau life long education) yang berwujud a method of ingury yang bersifat dinamis progresif.
Cara untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi, tersebut ialah dengan pengembangan kepribadian sebagaimana Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yakni dengan pemberlakuan mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewiraan/Kewarganegaraan pada setiap bentuk Pendidikan Tinggi di Indonesia. Melalui pendidikan ini, berbekal kompetensi yang dimiliki seseorang lulusan pendidikan tinggi harus menjadi warga negara yang penuh tanggung jawab sekaligus sebagai pejuang negara dalam rangka memelihara eksistensi Negara dan bangsanya, dan sebagai tujuan umum, mahasiswa selanjutnya lebih berupaya membentuk kepribadiannya selaku warga negara Indonesia seutuhnya, nasionalis, kepentingan berkehidupan bernegara.
Melalui pokok-pokok bahasan pada mata kuliah Pendidikan Pancasila dan dilanjutkan dengan Pendidikan Kewiraan (Kewarganeraan), setelah selesainya proses pembelajaran, seyogyanya. Mahasiswa dapat menjelaskan dan berperilaku sebagai berikut :
1. Landasan histories dan yuridis Pendidikan Pancasila dan Kewiraan/ Kewarganegaraan.
2. Pancasila sebagai sistem filsafat, etika politik, dan paradigma berbangsa.
3. Kepentingan ideologi bagi suatu Negara.
4. Pengembangan identitas nasional.
5. Konsepsi HAM dan implementasi Demokrasi Pancasila.
6. Aspek geopolitik bangsa Indonesia.
7. Konsepsi dan Implementasi Ketahanan Nasional.
8. Perwujudan Politik dan Strategi Nasional dalam bentuk Ketahanan Nasional.
9. Berpartisipasi dalam Pertahanan dan Keamanan Nasional.
10. Mengutamakan Kewajibannya daripada penuntutan haknya.
11. Memiliki pola pikir komprehensif integral pada aspek kehidupan nasional.
12. Mengidentifikasi perkembangan IPTEK dalam rangka Ketahanan Nasional.
2. Upaya-Upaya Pendidikan Kepatriotan
Pendidikan kepatriotismean yang menjadi cita-cita penulis adalah upaya sadar yang direncanakan negara dan dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mendidik warga negaranya agar tiap waktu rencana dan aktifitasnya selalu berkesadaran dan berkesiagaan demi negara dengan sikap Patriotik.
Sikap yang Patriotik, yakni melihat dengan tajam dan teliti masalah yang dihadapi secara nasional, baik dalam bentuk kerawanan maupun dalam bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, serta mampu menemukan peluang yang terbuka sehingga dapat mengambil sikap dan keputusan yang benar dan baik bagi keselamatan, kelestarian, dan kepentingan bangsa dan negara. Negara-negara lainpun mempunyai konsep dan cara pendidikan tersendiri untuk hal tersebut, bahkan lebih ekstrim dalam bentuk wajib Militer.
Pendidikan demikian sebagaimana dahulunya dalam bentuk Kuliah Kewiraan, namun oleh karena kata Kewiraan telah lama dianggap berbau Militeristik dan bahkan dicurigai oleh sebagian orang pada beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai mata kuliah Indoktrinasi, terutama karena sebelumnya kewiraan diajarkan keperguruan tinggi oleh Perwira-perwira Militer minimal berpangkat Kolonel oleh karena Militer dianggap lebih memahami, maka untuk mensipilkan mata kuliah tersebut diadakanlah Kursus Singkat bagi Calon Dosen Kewiraan di Lembaga Pertahanan Nasional Jakarta.
Selanjutnya dua Umversitas besar di Indonesia UGM dan UI menyelenggarakan Program Studi Ketahanan Nasional pada Strata II (S2) untuk mempersiapkan tiap Sarjana dari berbagai bidang agar dapat menggali, memperdalam dan mengaktualisasikan pengetahuan tersebut dengan berdasarkan keilmuan dan data empirik yang berhubungan dengan peningkatan kualitas sumberdaya warga negara demi kemajuan negara dan tujuan negara. Hal-hal tersebut tidak dipahami oleh banyak orang Perguruan Tinggi sehingga pada tahun 2000 dengan semangat Reformasi, penolakan terhadap Dwifungsi ABRI maka nama Mata kuliah Kewiraan (yang khusus untuk Mahasiswa) diubah jadi Pendidikan Kewarganegaraan yang pada akhirnya justru dianggap tidak berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan di SD, SLTP atau SLTA.
Kata Kewiraan sesungguhnya dapat dipahami sebagai suatu upaya progresif agar orang mampu berjiwa Perwira (yakni berjiwa antisipasi terhadap ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan apapun terhadap eksistensi Negara dan bangsanya). Imbuhan `Ke' pada kata Kewiraan berarti Kemampuan sekaligus Kebijakan dari seorang Wira dimana Wira bermakna juga Patriot (berarti Pahlawan/pembela) dari Patria (berarti Tanah Air). Maka Kewiraan berarti Kesadaran bersikap kesatria membela Tanah Air.
Membela Tanah Air tidak selalu mengangkat senjata sebagaimana masa perang Kemerdekaan. Banyak cara untuk membela Tanah Air, baik melalui keahlian maupun keterampilan dari bidang Ilmu tertentu untuk meningkatkan kualitas fisik dan non fisik aspek-aspek kehidupan masyarakat, upaya lainnya dalam berbudaya dan berolah raga.
Sejak dahulu kala selalu ada kerawanan akan eksistensi suatu Kerajaan atau Negara, Kewiraan didefenisikan sebagai titik-titik kelemahan yang terdapat dalam kehidupan manusia dan masyarakat diberbagai aspek dan sektornya dengan akibat mempermudah datangnya ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap usaha menghayati suatu paham/ideologi negara. Sedangkan ancaman didefenisikan sebagai tindakan potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan bersifat konseptual, baik tertutup maupun terbuka yang bertujuan untuk mengubah kesatuan, paham/ideologi maupun menggagalkan pembangunan nasional.
Gangguan diartikan sebagai tindakan, potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak bersifat konseptual, dan berasal dari luar diri sendiri yang bersifat merongrong kesatuan, paham/ideologi. Hambatan diartikan sebagai tindakan, potensi, atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak konseptual dan berasal dari dalam diri sendiri, dalam arti tidak mengamalkan makna kesatuan, paham/ideologi, dan tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Tantangan adalah tindakan, potensi atau kondisi baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri yang membawa masalah untuk diselesaikan serta dapat menggugah kemampuan diri.

PENTINGNYA PENDIDIKAN KEWIRAAN
1. Latar Belakang Sejarah.
Sejarah nasional sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 mencatat bahwa terjadi pemberontakan-pemberontakan yang membahayakan kelangsungan negara kesatuan RI. Pemberontakan-pemberontakan tersebut jika diselidiki mendalam disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah Ideologi Komunis, Liberal dan dampak politisnya, Frusfasi (PRRI, DI/TII).
2. Mengemban Tugas kemasa depan.
Peristiwa dan pengalaman serta terjadinya pemberontakan-pemberontakan tersebut membuat bangsa Indonesia menjadi sadar, betapa besar bahaya yang harus dihadapi oleh bamgsa dan negara dan betapa jauh akibat malapetaka yang harus diderita oleh rakyat. Oleh karena itu, kewaspadaan sejak dini diusahakan agar peristiwa-peristiwa yang membawa penderitaan dan kesengsaraan rakyat tidak terulang kembali.
Hal tersebut tentu saja tidak hanya dilakukan dengan kesiapan dan kewaspadaan terhadap apa yang akan membahayakan bangsa dan negara pada waktu mendatang ataupun dengan sekedar tindakan represif, terutama dengan menggali akar penyebabnya untuk dipecahkan, serta menjaga jangan sampai kita sendiri menciptakan suatu kondisi yang rawan serta mengundang peristiwa-peristiwa semacam itu terjadi kembali. Disamping itu, harus disadari bahwa pemberontakan-pemberontakan itu bukanlah perisitiwa yang insidentil atau tergantung pada perorangan, tetapi benar-benar dilakukan dalam kelompok masyarakat dan dalam satuan sosial yang tidak kecil dan tersebar di Nusantara ini, dengan perencanaan yang terarah, dengan organisasi dan koordinasi yang cukup rapi, serta dilandasi dengan motivasi dan paham ideologi yang jelas, dan tidak sekadar berada pada permukaan saja.
Jelas bahwa kewaspadaan harus dibekali dengan pemahaman yang tegas tentang kerawanan-kerawanan yang ada dalam tubuh bangsa, semangat yang tinggi, serta didasari ketakutan yang mantap atas ideologi Pancasila.
Bagi kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, karakter sebagai Perwira Patriot harus diaktualisasikan secara benar, implisit tersirat dari pentingnya keterbukaan informasi dan tujuan reformasi.
Berbagai masalah rumit sebelum sekarang dan mendatang menyebabkan perubahan potensial untuk meningkatkan diversitas dalam negara. Hal tersebut memicu terbentuknya assosiasi dan dissosiasi baru dalam kelompok-kelompok masyarakat yang juga berpotensi untuk menimbulkan gangguan sekuritas.
Hal itu terjadi dengan adanya kekerasan individual, keluarga, lembaga, subnasional dan supranasional yang dilakukan berbagai pihak dengan kepentingamya sendiri, dengan memanfaatkan politik. Munculnya perbedaan persepsi diantara supra dan infra struktur maupun antar generasi pemikir dan elit-elit politik domestik, serta persepsi sipil militer yang merupakan problem yang harus dibedah dalam koridor transparansi/keterbukaan yang biasanya selalu dilawankan dengan stabilitas politik maupun status quo.

IDEOLOGI PANCASILA
1. Ideologi
Keberadaan ideologi memang nyata telah memunculkan hampir semua negara-bangsa di dunia, namun secara faktual masyarakat kini tidak berminat untuk mempelajari ideologi, interaksi ideologi politik, ajaran dan pola kelembagaanya, akibat daripadanya, serta prospek masa depamya.
Sulitnya pendefenisian istilah "ideologi" merupakan masalah karena penggunaan kata-kata dan konotasi yang tidak tepat telah ada padanya secara historis. Ada banyak defenisi tentang ideologi, sebagai contoh Carl J. Friedrich (dalam "Man and His Govemment: An Empirical Theory of Politics", 1963) telah menawarkan gambaran yang luas guna orientasi dalam studi tentang ideologi-ideologi politik utama sekarang ini. Dikatakamya bahwa Ideologi merupakan sistem-sistem pikiran yang geraknya berhubungan, memuat suatu program dan strategi bagi realisasinya serta fungsi menyatukan organisasi-organisasi disekelilingnya.
D. Easton dalam "A Systems Analysis of Political Life" (1965) memberikan pengenalan dan deskripsi, bahwa ideologi adalah seperangkat pikiran-pikiran, tujuan-tujuan dan maksud-maksud yang bersambung, yang membantu angota-anggota sistem untuk menafsirkan masa lalu, menerangkan yang sekarang, dan menawarkan suatu pandangan bagi masa depan. Berdasarkan penelitian yang intensif dan berfikir secara reflektif final sebagai cara berfikir dalam Filsafat Integralisme (yang diistilahkan Filsafat Pancasilaisme), Abdulkadir B. dalam "Pancasila Ideologi Terbuka" (1996) mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenaramya oleh suatu masyarakat dan dijadikan dasar menata dirinya dalam menegara.
Nilai intrinsik yang ada pada Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup atau metode untuk memahami kehidupan sesama bagi setiap orang sebagai praktisinya itu adalah benar mutlak secara filsafati dan empiris. Harus dipahami pula bahwa setiap ideologi mempunyai dasar filsafat tertentu yang menghasilkan nilai tertentu berdasarkan metode berpikimya sendiri yang khas, sehingga wataknya dan orang-orang penganutnya khas pula, baik pada ideologi komunis, liberal, dan pancasila. Oleh karenanya, untuk menilai setiap fenomena yang ada, terdapat perbedaan nilai (value) dan cara yang berbeda sebagai akibat cara memandang yang berbeda dari ideologi. Sehingga adu argumentasi dari para pendebat yang berideologi/faham berbeda bagaimanapun tidak akan memperoleh kesamaan pendapat dan kesamaan persepsi tentang peri kehidupan.
ldeologi dalam konteks masa kini, di saat perubahan sedang berlangsung dengan cepat dan mendasar sebagai akibat dan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta temuan-temuan spektakulerya, serta jika dikaitkan dengan orde reformasi, telah menempatkan kita pada suatu kompleksitas permasalahan yang klasik, fundamental, sekaligus aktual. Klasiknya ideologi, karena masalah ideologi sudah muncul semenjak tahun 1796 saat diintroduksikan pada masa Revolusi Perancis oleh filsuf A. Destutt de Tracy dengan memberi batasan sebagai. "Science of Ideas" atau ilmu pengetahuan tentang ide-ide (studi asal mula, perkembangan, dan sifat dari ide-ide), sebagaimana biasa, terhadap sesuatu yang baru selalu diikuti kontradiksi antara yang pro dan yang kontra. Sejak pada masa itu istilah ideologi dilingkungi oleh pemaknaan yang naif sebagai hasil fallacy penentangnya.
Ideologi telah dipersamakan dengan berbagai cara, gaya, atau buah fikiran paham totaliter, sehingga tidak disukai banyak kalangan hingga saat ini. Pencemaran nama baik dan ide benar dari ideologi ini dimulai sejak Napoleon Bonaparte yang mempergunakamya untuk menghina para intelektual liberal dari Institute de France. Banyak sosiolog mengkarakterisir ideologi sebagai bentuk propaganda politik pemerintah yang salah kaprah, terlalu muluk, dan mengada-ada, dan berkembang dengan berbagai tafsir beserta implikasinya yang tidak saja berbeda bahkan saling bertentangan. Fundamental karena setiap ideologi selalu menyentuh semua segi dan sendi kehidupan umat manusia sebagai pendukungnya secara mendasar.
Aktualnya ideologi karena dalam kehidupan umat manusia di akhir abad XX sekarang ini aspek-aspek ideologi selalu mewarnai setiap fenomena yang muncul dalam percaturan di bidang apapun dan di manapun. Jika dipelajari, dalam perbendaharaan sejarah filsafat, akan dijumpai sekian banyak deskripsi yang berbeda dan dengan arah serta makna yang berbeda pula. Masing-masing memberi kejelasan bahwa setiap konsep ideologi selalu bertolak dari suatu keyakinan filsafat tertentu, terutama keyakinan filsafat tentang apa, dan siapa manusia sebagai subjek pendukungnya, hak serta kewajiban dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan, dan bagaimana corak masyarakat yang harus diwujudkan. Pengejawantahannya tercermin dalam kehidupan praksis, baik di bidang spiritual, maupun di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya suatu masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.
Masalahnya memang menyangkut hal-hal untuk merealisasikannya yang abstrak dan idiil, namun apabila tersedia peluang yang tepat ideologi akan menjadi sangat konkrit. Karena itu membicarakan masalah ideologi tanpa meletakkannya pada konteks keyakinan filsafati yang menjadi dasarnya, maka hanya kulitnya saja yang akan kita sentuh. Keracunan dan distorsi pemikiranlah yang pada akhimya akan menjerumuskan kita pada penyempitan wawasan, terbatas pada dimensi fenomenalnya saja, sedemikian rupa sehingga sulit bagi kita untuk menangkap arti serta makna peristiwa-peristiwa yang hadir di hadapan kita pada zaman yang sedang dilanda arus globalisasi yang begitu deras.

SUMBER :
-Junarmi Stai
-VB Non regular
-KELOMPOK MAHASISWA PENELITI DAN PENGABDI MASYARAKAT (KMP2M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar